BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi tentang Ekonomi Kelembagaan saat ini begitu memperoleh
tempat dikalangan pemikir ekonomi dan sosiologi. Tidak saja di Barat, tetapi
kajian yang sama tumbuh di dunia timur, termasuk di Indonesia. Perkembangan
studi ekonomi kelembagaan yang demikian dinamis memunculkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep ekonomi kelembagaan itu sendiri, kenapa
banyak diminati akhir-akhir ini? Bagaimana falsafah keilmuannya? Di dunia
Barat, sebenarnya kajian kelembagaan bukan sesuatu yang baru. Di masa lampau
setelah Adam Smith memahatkan teori ekonominya pada dinding-dinding sel otak
setiap manusia, maka sejak itu pula muncul perlawanan atau semacam counter atas gagasan yang disampaikan oleh
Smith. Dalam khazanah ilmu ekonomi kelompok penentang itu lazim dikenal dengan Ekonomi
Kelembagaan Lama (Old Institutional Economic). Sebelum membahas tentang
ekonomi kelembagaan, maka perlu diketahui bahwa dalam ilmu ekonomi kelembagaan
dikenal juga institusi. Ada beberapa pengertian institusi yang dikemukakan oleh
para ekonom. Salah satunya pengertian yang paling banyak dipakai adaah
pengertian yang dikemukakan oleh Douglas C. North. Ia mendefinisikan institusi
sebagai aturan-aturan (constraints) yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur
dan membentuk interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Aturan-aturan tersebut
terdiri dari aturan formal seperti undang-undang, konstitusi dan aturan
informal seperti norma sosial, konvensi, adat istiadat. Indonesia harusnya
banyak belajar dari apa yang telah dialami setelah krisis. Sepertinya sagat
sulit untuk negara ini bagkit dan kembali menata perekonomian yang nyaris ujung
tanduk. Namun Indonesia terus berusaha dan menunjukkan usaha yang keras dalam
menata dan membawa perkonomian negara ini ke arah yang lebih baik. Banyak
sistem-sistem baru yang diterapkan oleh Indonesia, banyak pula teori-teori
barat yang diadopsi oleh Indonesia untuk diterapkan sebagai bentuk usaha
membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Salah satu ilmu atau
teori ekonomi yang ada di Indonesia adalah mengenai ekonomi kelembagaan.
Ekonomi Kelembagaan membahas masalah ekonomi dalam ranah hubungan ekonomi dan
kehidupan sosial serta hubungannya dengan kepemilikan seseorang atau property
right. Ekonomi Kelembagaan di Indonesia berhubungan dengan pembangunan
berkelanjutan. Namun pengertian pembangunan di Indonesia dewasa ini telah
mengalami penyimpangan dari pengertian normatif. Kini pembangunan ekonomi
berkelanjutan, tidak lagi mementingkan korelasi keharmonisan antar aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan. Terutama faktor lingkungan. Pembangunan
ekonomi berkelanjutan kini hanya memperioritaskan kemajuan, tidak lagi
mempedulikan apa dampak yang ditimbulkan dari pembanguan tersebut. Bahkan
kerusakan yang disisakan oleh usaha pembangunan yang dilakukan. Menyisakan
dampak buruk bagi generasi setelah kita. Apakah dampak yang ditimbulkan oleh
ekonomi berkelanjutan dan pembangunan yang dilakukan di Indonesia sebagai usaha
memajukan perekonomian Indonesia?
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa itu Ekonomi Kelembagaan?
2. Siapa sajakah tokoh Ekonomi Kelembagaan?
3. Bagaimana perkembangan Ekonomi Kelembagaan di
Indonesia?
4. Bagaimanakah pemikiran dan paradigma ekonomi
kelembagaan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ekonomi Kelembagaan
Ekonomi
Kelembagaan merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang Ekonomi dengan
tidak mengabaikan peran aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Ekonomi Kelembagaan adalah paradigma
baru dalam ilmu ekonomi yang melihat kelembagaan (rule of the game) berperan
sentral dalam membentuk perekonomian yang efisien. Ekonomi kelembagaan menekankan
pada pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem ekonomi dan
sosial bekerja (Black, 2002). Salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan
adalah menyangkut property right atau
hak pemilikan. Property right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga
norma sosial dan adat. Relefansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa
besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat. Barzel (1989) menulis
dalam bukunya mengenai Economic of Property Rights, juga oleh Cheung (1968)
yang melakukan study mengenai share
cropping di Taiwan. Kedua studi ini membuktikan bahwa ketidakjelasan hak
pemilikan dan enforced property rights terbukti menjadi handicap dalam
mentransformasi pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan lahan. Bagian lain
yang juga penting dalam konteks ekonomi kelembagaan adalah menyangkut biaya
transaksi. Biaya transaksi adalah sisi lain atau pendekatan lain yang digunakan
untuk menjelaskan aspek ekonomi dari kelembagaan (Black, 2002). Biaya transaksi
mempertimbangkan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi dan
antara aktor (organisasi) yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar.
Biaya transaksi mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam ekonomi yakni bounded rationality (rasionalitas
terbatas), masalah informasi, biaya negosisasi kontrak dan opportunism. Schmid
(1987) di sisi lain membedakan biaya transaksi atas tiga hal yakni 1) biaya
informasi, 2) biaya kontrak, dan 3) biaya pengawasan atau penegakan hukum.
Dalam konteks inilah sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang
dimaksud dengan transaction cost. Transaction cost bukanlah biaya pertukaran
atau salah satu biaya dalam jual beli barang dan jasa (termasuk lahan), namun
transaction cost lebih diartikan sebagai “the cost of establishing and
maintaining right” (Allen,1991). Kedua aspek di atas yakni property rights dan transaction cost adalah bagian penting yang
memerlukan pemahaaman yang serius dalam kelembagaan pengelolaan lahan.
Jadi pada intinya, Ekonomi
Kelembagaan adalah ekonomi yang menekankan pada hak kepemilikan. Perekonomian
dikembangkan oleh individu atau kelompok yang memiliki sarana atau faktor
produksi. Sehingga mereka memiliki keleluasaan atau wewenang untuk mengatur dan
berperan dalam sektor perekonomia serta pengembangannya. Dalam hal ini pemilik
faktor produksi menjadi pelaku pengembangan perekonomian. Ternyata dalam
perakteknya banyak faktor-faktor yang memengaruhi individu dalam mengambil
keputusan seperti faktor sosial, politik dan lainnya. Pada titik ini ekonomi kelembagaan
masuk untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata
letak antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori
ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu atau komunitas
(teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan
kolektif), model kesepakatan yang dibuat (teori kontrak), pilihan atas
kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain.
Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang
sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar. Dalam
hal ini diperlukan kelembagaan non pasar (non-market institution)
untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung,
yakni dengan jalan mendesain aturan main atau kelembagaan (institutions).
2.2 Tokoh Ekonomi Kelembagaan
Para penganut Ekonomi
Kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk
memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya,
dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Berikut merupakan pemikir mazhab
ekonomi kelembagaan yang dapat ditelesuri antara antara lain
1.
Thorstein
Bunde Veblen (1857-1929).
Veblen menilai pengaruh keadaan
dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Veblen pada
intinya mengkritik teori-teori yang digunakan kaum Klasik dan Neo-Klasik yang model-model
teoritis dan matematisnya dinilai biasa dan cenderung terlalu menyederhanakan
fenomena-fenomena ekonomi. Pemikiran-pemikiran Ekonomi Klasik dan Neo-Klasik
juga di kritiknya karena di anggap mengabaikan aspek-aspek non ekonomi seperti kelembagaan
dan lingkungan. Padahal Veblen menilai pengaruh nilai dan lingkungan sangat
besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial
yang tidak mendukung dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi. Bagi Veblen keadaan dan lingkungan inilah yang disebut
institusi. Institusi yang dimaksudkan veblen tidak dalam pengertian fisik,
tetapi lebih berkaitan dengan nilai norma, kebiasaan, budaya yang sudah melekat
dan mendarah daging dalam masyarakat. Beberapa asumsi yang
dianggap Veblen lemah antara lain :
·
Motif ekonomi melatarbelakangi setiap
kegiatan. Setiap aktivitas manusia didasarkan atas perhitungan rasional untung
ruginya.
·
Mendahulukan kepentingan diri sendiri
(Self interest).
·
Persaingan akan meningkatkan efisiensi.
·
Private property right merupakan sebuah
keharusan.
·
Teori Ekonomi Klasik mengabaikan
faktor-faktor sejarah, sosial dan kelembagaan dalam membangun struktur ekonomi.
Pandangan Veblen
·
Manusia bukan hanya mahkhluk rasional tapi
juga makhluk emosional yang memiliki perasaan, selera, nilai, dan kecenderungan
yang terikat dengan budaya.
·
Selera, perasaan, nilai dan kecenderungan
juga mempengaruhi transaksi ekonomi yang dilakukan oleh manusia.
·
Pilihan-pilihan ekonomi juga dipengaruhi
oleh lingkungan fisik dan teknologi.
·
Dunia ekonomi tidak dapat lepas atau
bahkan dipengaruhi oleh faktor sejarah, sosial dan kelembagaan yang selalu
berubah.
2. Wesley
Clair Mitchel (1874-1948)
adalah murid, teman dan pengagum Veblen.
Ia juga berjasa dalam mengembangkan metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan
peristiwa-peristiwa ekonomi. Salah satu karyanya Business Cycle and Their Causes (1913) dengan menggunakan bermacam
data statistik ia kemudian menjelaskan masalah fluktuasi ekonomi. Selain ikut
dalam mendukung dan mengembangkan pemikiran-pemikiran gurunya, lebih lanjut ia
juga berjasa dalam mengembangkan metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan
peristiwa-peristiwa ekonomi. Sesudah perang dunia kedua ia mengorganisir sebuah
badan penelitian “National Bureau Of Economic Research” yang memungkinkan lebih
dikembangkanya penelitian-penelitian tetang pendapatan nasional, fluktuasi
ekonomi atau business cycles, perubahan produktifitas, analisis harga, dan
sebagainya.
3.
Gunnar
Karl Myrdal (1898)
berasal dari Swedia. Gunnar Karl Myrdal
banyak menulis buku, antara lain : An America Delima, Value In Social Theory,
Challenge To Affluence, dan Asian Drama : An Inqury Into The Poverty Of Nations.
salah satu pesan myrdal pada ahli-ahli ekonomi ialah agar ikut membuat value judgement. Jika itu tidak
dilakukan struktur-struktur teoritis ilmu ekonomi akan menjadi tidak realities.
Myrdal percaya bahwa pemikiran institusional sangat di perlukan dalam melaksanakan
pembangunan di Negara berkembang. Myrdal meraih nobel di bidang ekonomi pada
tahun 1974 bersama FA Hayek atas jasa-jasanya dalam menyumbang pemikiran
ekonomi, terutama bagi pembangunan Negara berkembang.
4.
Joseph
A. Schumpeter (1883-1950)
Ia mengatakan bahwa sumber utama
kemakmuran bukan terletak dalam domain ekonomi itu sendiri, melainkan berada
diluarnya, yaitu dalam lingkungan dan institusi masyarakat. Lebih jelas lagi,
sumber kemakmuran terletak dalam jiwa kewiraswastaan (entrepreneurship) para pelaku ekonomi yang mengarsiteki
pembangunan.
5.
Douglas
C. North (1993)
North mengatakan bahwa reformasi yang
dilakukan tidak akan memberikan hasil nyata hanya dengan memperbaiki
kebijaksanaan ekonomi makro belaka. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan
seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap
pelaku ekonomi. Beberapa contoh institusi yang mampu memberikan insentif
tersebut adalah hukum paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah.
Bagi North institusi adalah peraturan perundang-undangan berikut sifat-sifat
pemaksaan dari peraturan-peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang
membentuk interaksi antara manusia secara berulang-ulang. Nama terakhir diatas,
North adalah merupakan tokoh ekonomi kelembagaan baru (New Institutional
Economic) yang memperoleh nobel ekonomi pada tahun 1993, demikian juga
dengan Ronald H. Coase pada tahun 1991. Nobel yang diperoleh kedua tokoh
tersebut turut menjadi pemicu perkembangan keilmuan ekonomi kelembagaan baru di
dunia saat ini. Pemikir Ekonomi Kelembagaan baru menolak sebagian asumsi ajaran
ekonomi klasik atau neoklasik dan menganggapnya tidak realistis seperti tidak
ada biaya transaksi (zero transaction cost) dan rasionalitas
instrumental (instrumental rationality). Ekonomi klasik yang
mengasumsikan bahwa semua manusia adalah rasional dan bekerja berdasarkan
insentif ekonomi ternyata dalam prakteknya banyak faktor-faktor sosial, ekonomi
dan politik yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya.
2.3
Pemikiran dan Paradigma Ekonomi Kelembagaan
Mahzab Ekonomi Kelembagaan lama ini
menganggap bahwa semua asumsi yang membangun oleh mazhab ekonomi klasik atau neoklasik
merupakan cara berfikir yang fatal. Itulah sebabnya, Ekonomi Kelembagaan lama
ini bekerja diluar mekanisme dan cara pandang pemikiran ekonomi klasik atau neoklasik
sejak ia diploklamirkan. Pada titik ini Ekonomi Kelembagaan masuk untuk
mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak
antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi
biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal
sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model
kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik
maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada
insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi
tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan
kelembagaan non pasar (non-market institution) untuk melindungi agar
pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan jalan
mendesain aturan main/kelembagaan (institutions). Ekonomi kelembagaan
mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam sistem dan
organisasi ekonomi atau sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang
dipelajari biasanya bertumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau
kelembagaan yang sengaja dibuat oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat
penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di segala bidang
kehidupan. Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian
dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan sosial humaniora, ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik.
Ilmu ekonomi kelembagaan terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh
banyak ahli ilmu ekonomi dan ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya
memenangkan hadiah nobel. Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung
kepada ahli dan orangnya, tetapi juga pada bidang keilmuannya, yakni ilmu
ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002). Para penganut ekonomi kelembagaan percaya
bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk memotret masalah-masalah
ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai
satu kesatuan analisis (Yustika, 2008: 55). Oleh karena itu, untuk mendekati
gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode
kualitatif yang dibangun dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif
dan, nonprediktif.
1.
Pertama, partikular dimaknai
sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya setiap fenomena
sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku
untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis partikularitas tersebut,
sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (1) keyakinan
bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan (2) penelitian kualitatif secara
rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2008: 69).
2.
Kedua, yang
dimaksud dengan subyektif disini sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan
penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu
lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data,
dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang
dalam” dalam antropologi disebut dengan emic.
3. Ketiga, nonprediktif ialah bahwa
dalam paradigma penelitian kualitatif sama sekali tidak masuk ke wilayah
prediksi kedepan, tetapi yang ditekankan disini ialah bagaimana pemaknaan,
konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atas sesuatu.
Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah
fenomena.
2.4 Perkembangan Ekonomi Kelembagaan di Indonesia
Perkembangan pemikiran ekonomi di
Barat turut mempengaruhi studi-studi Ekonomi di Indonesia. Beberapa
sarjana-sarjana Indonesia lulusan sekolah Barat yang menaruh perhatian terhadap
gagasan ini dapat dilacak misalnya, Mubyarto, dengan pemikirannya tentang pengembangan
ilmu dan pendidikan ekonomi alternatif yang berpijak pada sistem nilai,
sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil (real-life economy)
masyarakat Indonesia. A.R. Karseno (2004) dalam pidato pengukuhannya sebagai
guru besar di fakultas ekonomi UGM mengemukakan, bahwa selama krisis kita pasar
tidak bekerja dengan baik terdapat dimensi lain yang menolong perekonomian dan
krisis, faktor lain itu adalah adanya pranata yang hidup di masyarakat. Pranata
yang mengatur perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Saking kehidupan
ekonomi masih berjalan, bahkan menurut pendapatnya teori ekonomi Neo-Klasik
sudah terlalu jauh mengabaikannya. Tetapi tetap saja masalah kita semakin
menunjukan bahwa dalam memahami perekonomian Indonesia ada beberapa hubungan
dan penguasaan ekonomi yang harus menjadi perhatian kita. Ekonomi kebanyakan
warga negara Indonesia yang harus dipahami dalam kontek hubungan individu dan
masyarakat, hubungan antara-negara dan masyarakat, serta dipihak lain realitas
pasar dalam kaitanya dengan peran negara dalam urusan
fiskal-moneter-investasi-yang cenderung mendikte pasar. Derajat inilah yang
perlu mendapatkan pendalaman dalam memahami kelembagaan (institusi) dalam
kontek mikro dan makro ekonomi Indonesia. Masih dari UGM, Lincolin Arsyad
(2005) dalam penelitiannya Assessing
the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case of
Village Credit Institution of Bali menemukan
kinerja Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Gianyar, Bali dipengaruhi oleh
kelembagaan yang meliputi lembaga formal dan informal. Ia mencatat bahwa
kelembagaan adat memberikan kontribusi dalam kinerja portofolio, leverage,
rasio kecukupan modal, produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan kelayakan
keuangan LPD.
Ahmad Erani Yustika (2005) lulusan Georg-August-Universität
Göttingen, Jerman dengan disertasi Transaction Cost Economics of The Sugar
Industry in Indonesia dan juga buku teks “Ekonomi
Kelembagaan: Defenisi, Teori, dan Strategi” sehingga tidaklah berlebihan jika
Yustika dikategorikan sebagai salah satu pemikir ekonomi kelembagaan di tanah
air. Perkembangan terkini yang perlu dicatat ialah dimasukkannya mata kuliah
ekonomi kelembagaan dalam kurikulum studi pembangunan di fakultas ekonomi.
Karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin popular. Demikian juga pengalaman
banyak negara menunjukkan bahwa kelembagaan (institutions) merupakan determinan utama
kesejahteraan dan pertumbuhan jangka panjang. Negara-negara ataupun kawasan
yang lebih makmur dewasa ini adalah yang memiliki kelembagaan politik dan
ekonomi lebih baik di masa lalu (Hall & Jones, 1999; dan Acemoglu, et.al.,
2001). Kemajuan China dan India dewasa ini, dengan segala kekurangannya, bisa
dijelaskan dari aspek kelembagaan ini. Juga negara-negara di Asia yang paling
dinamis. Apalagi saat terjadi gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia saat
ini dimana mainstream ekonomi yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik
membuat pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya, karena
itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai pendekatan
alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :
·
Ekonomi klasik yang mengasumsikan bahwa semua
manusia adalah rasional dan bekerja berdasarkan insentif ekonomi ternyata dalam
prakteknya banyak faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi
individu dalam keputusan ekonominya. Pada titik ini ekonomi kelembagaan masuk
untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak
antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi
biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal
sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model
kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik
maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada
insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi
tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar.
·
Ekonomi kelembagaan mempelajari dan berusaha
memahami peranan kelembagaan dalam sistem dan organisasi ekonomi atau sistem
terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang dipelajari biasanya bertumbuh
spontan seiring dengan perjalanan waktu atau kelembagaan yang sengaja dibuat
oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat penting dan strategis karena
ternyata ada dan berfungsi di segala bidang kehidupan.
·
Gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia
saat ini dimana mainstream ekonomi yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi
klasik membuat pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya,
karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai
pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
Demikianlah makalah
dengan judul “Ekonomi Kelembagaan” ini kami buat
berdasarkan sumber-sumber yang ada. Kami juga menyadari masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini. Sehingga perlulah bagi kami dari pembaca untuk
memberikan saran yang membantu agar makalah ini menjadi lebih baik. Atas
perhatian Anda semua, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih,
Sri. 2009. Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia Ditinjau dari Aspek Ekonomi.
Irawan,
dan M. Suparmoko. 1987. Ekonomi
Pembangunan (Edisi Keenam). Yogyakarta:
BPFE Fakultas Ekonomi UGM
Arsyad,
Lincolin. 2010. Ekonomi
Pembangunan. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN